Sabtu, 21 Agustus 2021

CATATAN PENA; TENTANG FUNGSI HUKUM UNTUK MANUSIA

(Foto: ADVOKAT MUDA TANGERANG) Kutipan; bahwa hukum dalam suatu negara adalah laksana udara bagi manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Kalau udara itu tidak ada persoalan, maka biasanya masyarakat tidak menyadari bahwa udara itu penting bagi kehidupan, baru kalau udara itu pengap dan menyesakkan, baru kita kalang kabut mencari perlindungan. Seorang ahli tentang perikanan memberikan sebuah keterangan, bahwa ikan-ikan terlempar keluar air atau habitatnya itu tercemar, baru ikan-ikan tersebut akan menggelepar-gelepar memperjuangkan nyawanya. Pada dasarnya hukum sama sekali tidak ditujukan untuk membasmi kebenaran, melainkan ia mesti berjalan disetiap koridor keadilan. Eksistensi norma-norma yang termaktub di dalam perundang-undangan tidak hanya mengatur untuk subjek tertentu, tetapi begitu besarnya peranan aparatur penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim, hingga Advokat terjebak pada praktik kotor lazim disebut jual-beli perkara. Hal tersebut menimbulkan stigmatisasi terhadap penegakkan hukum di Indonesia dan menjatuhkan kewibawaan hukum itu sendiri, bahkan terhadap lembaga peradilan pun masih tidak sedikit masyarakat yang skeptis padanya. Hukum yang adil hanya terlintas sesaat dari insan yang hidup. Tuhan memiliki seutuhnya jiwa-jiwa yang hidup. Kini, jarang putusan hakim yang merefleksikan keadilan bagi masyarakat (social justice), ironis kedengarannya, namun tak boleh dilupakan semata dengan putusan hakim yang menjatuhkan terdakwa atau tergugat dengan sanksi yang sesuai. Sebagian besar masyarakat menilai tak guna adanya hukum disela-sela kehidupan kita, kalau hanya uang menjadi supremasi represi, maka undang-undang hanyalah prolog tanpa makna. Suatu permasalahan putusan hakim yang dinilai masyarakat belum menyentuh keadilan masyarakat, karena itu tergambar dalam proses penanganan perkara dari tingkat penyidikan, penuntutan, hingga penjatuhan pemidanaan dalam hal menyangkut hukum pidana. Dalam konteks hukum perdata pun, tak serta merta posisi hakim yang notabene bersifat pasif berubah dikala bersentuhan dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Lembaga peradilan mempunyai peranan yang sentralistik untuk menentukan arah angin, membawa paradigma hukum yang sesuai dengan nawacita hukum. Jelas tampak adagium yang berbunyi ‘Fiat Justitia Ruat Coelum’ menjadi tidak berarti dihati masyarakat. Demikian hal tersebut seringkali disalahgunakan dengan tindakan-tindakan kolusi, nepotisme, atau perilaku yang koruptif demi sebuah kantong pribadi. Akibatnya, masyarakat yang berharap pada tegaknya supremasi hukum seakan-akan terdorong ke arah pandangan yang sesat terhadap hukum, sehingga perbedaan persepsi antar kalangan praktisi hukum pun seringkali menjadi warna dominan. Tidak adakah upaya perbaikan pada sisi moralitas aparatur penegak hukum untuk menegakkan hukum yang seadil-adilnya bagi pencarinya? Ataukah memang inilah stagnatisasi terhadap sistem peradilan yang ada? Sungguhpun jawaban-jawaban itu berada pada moralitas aparatur penegak hukum dalam memeriksa perkara-perkara di sidang pengadilan. Pentingnya menjaga integritas murni dari hakim yang sedang menangani perkara mesti diutamakan, semata-mata agar obyektifitas hukum dapat menyentuh keadilan sosial (social justice) untuk masyarakat pencari keadilan. Sementara sistem pengawasan pada setiap level hukum acara juga perlu mendapat perhatian, hal ini berarti perlunya mempercepat membangun hukum acara nasional yang sudah tidak sesuai dengan zaman. Penulis: H. ABDOEL MUFTI, S.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ksatria Sejati Di Kalangan Umat Rasulullah SAW

Pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab ra. Ada seorang pemuda kaya, ia hendak pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah Umrah. Dia mem...