Sabtu, 21 Agustus 2021
Ksatria Sejati Di Kalangan Umat Rasulullah SAW
Pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab ra. Ada seorang pemuda kaya, ia hendak pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah Umrah. Dia mempersiapkan segala perbekalannya, termasuk unta yang akan digunakan sebagai kendaraannya. Setelah semua dirasanya siap, maka ia pun memulai perjalannya.
Di tengah perjalanan, ia menemukan sebuah tempat yang ditumbuhi rumput hijau nan segar. Dia berhenti di tempat itu untuk beristirahat sejenak. Pemuda itu duduk di bawah pohon. Akhirnya, dia terlelap dalam tidurnya yang nyenyak.
Saat dia tidur, tali untanya lepas, sehingga unta itu pergo ke sana-kemari. Akhirnya, unta itu masuk ke pekarangan perkebunan yang ada di dekat tempat itu. Unta itu memakan tanam-tanaman dan buah-buahan di dalam kebun. Dia juga merusak segala yang dilewatinya.
Penjaga kebun itu adalah kakek yang sudah tua umurnya. Sang kakek berusaha mengusir unta itu. Namun, dia tak bisa. Karena khawatir akan merusak seluruh kebunnya, lalu sang kakek membunuhnya.
Ketika bangun, pemuda itu mencari untanya. Ternyata, dia menemukan unta itu tergeletak mati dengan leher menganga di dalam kebun.
Lalu, kakek itu menceritakan apa yang dilakukan oleh unta itu. Karena khawatir akan merusak seluruh isi kebun, terpaksa ia membunuhnya.
Mendengar hal tersebut, pemuda itu sangat marah hingga tak terkendalikan. Serta, dia pun memukul kakek penjaga kebun itu. Nahasnya, kakek itu meninggal seketika. Pemuda itu menyesal atas apa yang diperbuatnya. Dan dia hendak kabur.
Saat itu, datanglah dua orang anak sang kake tadi. Mengetahui ayahnya telah tergeletak tak bernyawa dan disebelahnya berdiri seorang pemuda tadi, mereka lalu menangkapnya.
Kemudian, keduanya membawa pemuda itu untuk menghadap Amirul Mukminin; Khalifah Umar ibn Khattab ra. Mereka berdua menuntut dilaksanakannya Qishash (Hukuman bagi orang yang membunuh) kepada pemuda yang telah membunuh ayah mereka.
Lalu, pemuda itu menyesalkan dan mengakui perbuatannya tersebut kepada Umar ibn Khattab ra. Sehingga tak ada pilihan lain selain melaksanakan hukum Allah.
Saat itu, sang pemuda meminta kepada Umar, agar ia diberi waktu untuk pergi ke kampung halamannya, sehingga dia bisa membayar hutang-hutangnya.
Namun, tidak serta-merta Umar mengizinkan keinginan pemuda itu, karena kepada pemuda itu pun Umar meminta seseorang sebagai penjamin atas pemuda itu, sebagai pengganti qishash jika pemuda itu tak kembali. Tetapi, sang pemuda tak mampu memberikan penjamin atas dirinya, karenanya ia bukanlah penduduk asli Makkah, dan tinggal dalam kejauhan kota Makkah.
Sahabat Rasulullah SAW, Abu Dzar ra yang saat itu juga hadir di situ tiba-tiba mengangkat tangan dan menjadikan dirinya sebagai penjamin sang pemuda tadi, lantas sikap Abu Dzar ra itu membuat kaget Amirul Mukminin; Umar ibn Khattab, sehingga mempercayainya.
Pada hari yang telah ditetapkan untuk pelaksanaan hukuman qishash, orang-orang menantikan datangnya pemuda itu. Sangat mengejutkan! Dari kejauhan sekonyony-konyong mereka melihat pemuda itu datang dengan memacu kudanya. Sampai akhirnya, dia sampai di tempat pelaksanaan hukuman qishash. Dan orang-orang di sekitar memandangnya dengan rasa takjub.
Pada saat itu, Umar bertanya pada pemuda itu, “mengapa engkau kembali ke sini wahai pemuda, padahal kau bisa menyelamatkan dirimu dari hukuman (qishash)?”
Pemuda itu menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku datang ke sini agar jangan sampai orang-orang berkata, ‘tak ada lagi orang yang menepati janji di kalangan umat Islam’, dan agar orang-orang tidak mengatakan ‘tidak ada lagi lelaki sejati, ksatria yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya di kalangan umat Muhammad SAW.’”
Lalu, Umar melangkah ke ara Abu Dzar Al-Ghiffari dan berkata, “Dan kau wahai Abu Dzar, bagaimana kau bisa mantap menjamin pemuda ini, padahal kau tidak kenal dengan pemuda ini?”
Abu Dzar menjawab, “Aku melakukan itu agar orang-orang tidak mengatakan bahwa ‘tidak ada lagi lelaki jantan yang bersedia berkorban untuk saudara seimannya dalam umat Muhammad SAW.’”
Mendengar itu semua, dua orang lelaki anak kakek yang terbunuh itu berkata, “sekarang tiba giliran kami, wahai Amirul Mukminin, kami bersaksi di hadapanmu bahwa pemuda ini telah kami maafkan, dan kamu tidak meminta apapun darinya! Tidak ada yang lebih utama dari memberi maaf dikala mampu. Ini kami lakukan agar orang tidak mengatakan bahwa tidak ada lagi orang berjiwa besar, yang mau memaafkan saudaranya di kalangan umat Muhammad SAW.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ksatria Sejati Di Kalangan Umat Rasulullah SAW
Pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab ra. Ada seorang pemuda kaya, ia hendak pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah Umrah. Dia mem...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar